Video Call
Sekali lagi saya tak mau terkecoh oleh perempuan yang saya pacari sejak 4 tahun lalu itu. Pertanyaan yang sejak awal saya buat untuknya, tidak mungkin saya jawab sendiri. Enak saja. Selain untuk melihat keseriusan, sebenarnya saya juga sedang menguji tingkat kecerdasan Dyah.
Malam kemarin saya menelpon Dyah, pacarku. Topik yang kami bicarakan kali ini agak berbeda. Tidak seperti topik-topik seperti biasanya. “Hal apa yang mengikat kita untuk bisa sama-sama sampai sekarang? Sebutkan satu saja’.
Kira-kira seperti itulah topiknya. Topik yang juga menjadi pertanyaan itu saya yang mengajukan. Terinspirasi dari Instagram story Fikry Fakhrurrizal, sahabatku yang baru saja menikahi pujaan hatinya beberpa bulan lalu.
Mendapat pertanyaan itu, Dyah tidak langsung menjawab. Dia senyum-senyum kegirangan, agak menggelikan sebenarnya. “Kok tumben nanya-nanya gini?” Dyah balik bertanya sambil sesekali memutar-mutar bola matanya ke arah atap kosan lalu kamera. Saya mulai menebak-nebak. Apakah ia sedang berpikir atau kebingungan menjawab pertanyaan yang saya ajukan itu.
“Kalau sampean kenapa?” Dyah malah mulai berkelit.
Namun saya tidak terpancing. Saya tidak segera menjawab pertanyaan yang dari awal saya ajukan untuknya. Enak saja. Masak saya yang tanya, saya sendiri yang harus menjawab. “Itukan pertanyaan saya untuk kamu,” jawabku.
Senyum Dyah makin tidak jelas. Ia malah mulai memainkan rambut ikalnya itu di depan kamera. Sudah barang tentu saya bisa menebak. Dyah pasti sedang berusaha menggodaku. Agar, saya mau menjawab lebih dulu topik yang sedang kami bangun malam itu.
Namun usaha untuk mengelabuhiku gagal total. Saya tidak terpancing oleh pertanyaan balik yang sebenarnya saya ajukan itu. Dyah kehabisan akal. Ia terdiam sejenak. Saya tahu perempuan ‘agak galak’ itu sebenarnya sedang berusaha menemukan jawaban yang pas. Dia pasti tidak mau salah menjawab lalu mendapat bully-an dariku.
“Kita saling membebaskan,” jawabnya dengan nada agak kemaki. Jawaban itu tak kalah mengejutkanku. Sikap cengengesan yang ia tunjukan sejak awal berubah agak serius. Sementara saya masih tak percaya, sekaligus belum paham maksud dari jawaban perempuan kelahiran Ngawi itu.
Meski begitu, jawaban Dyah itu cukup mengangkat harkat dan martabatnya. Jawaban itu seolah membuat tingkat kecantikanya naik berkali-kali lipat di mataku. Jawaban yang seolah memiliki arti mendalam. Saya manggut-manggut mengelus janggut.
“Membebaskan gimana?” tanyaku, meminta penjelasan darinya.
“Bebas untuk menjadi diri sendiri,” jawab Dyah. Kali ini ia Nampak semakin kemaki. Penuh percaya diri. Belum sampai saya mintai penjelasan lagi, ia sudah menghujaniku dengan jawaban-jawaban mencengangkan.
“Kebebasan itu untuk belajar, dan bertumbuh,” urainya.
Otomatis, jawaban itu membuat saya semakin leleh padanya. Dyah yang lebih sering ku kenal sebagai gadis manja, berubah menjadi gadis tegar. Dyah yang kukenal sebagai perempuan labil yang suka-marah-marah tidak jelas, seketika menjadi Dyah dewasa yang penuh dengan kebijaksanaan dan pengertian. Kali ini ia gadis dewasa yang siap untuk dihalalkan. Haha..
Tidak cukup sampai di situ, Dyah juga memberikan penjelasan panjang lebar bak sedang melakukan presentasi di depan pasangannya yang paling ‘ehem’ ini. Ia memang sedang membuatku merasa jatuh cinta untuk kesekian kali.
Saya sepakat dibuatnya. Hubungan yang coba kami bangun memang membebaskan. Sejak awal kita sudah sepakat itu. Baik saya maupun Dyah tidak pernah menuntut aneh-aneh. Apalagi, membatasi gerak dan pergaulan pasangan. Dyah boleh berteman dengan perempuan dan lelaki manapun. Saya tidak pernah meminta gadis itu untuk menghabiskan hari-harinya hanya untuk saya. Begitupun sebaliknya.
Selain itu, melanggar privasi pasangan juga bagian yang ‘haram’ kami lakukan. Misalnya , meski saya tahu password HP Dyah, saya tidak pernah ngutak-ngatik isi chatting social media di dalam hp-nya. Begitupun sebaliknya, ketika bertemu, Dyah seolah cuek saja dengan HP punyaku yang biasanya tergeletak begitu saja.
Lalu bagaimana kalua ada suatu hal yang perlu diputuskan, baik soal saya maupun Dyah?
Di kondisi itu biasanya kami hanya memberikan petunjuk-petunjuk berdasarkan logika untuk memberikan support. Jika solusi yang kami pilih adalah A maka untung ruginya seperti ini, kalua solusi B maka seperti ini. Dan yang tidak kalah penting, saya selalu menyisipkan pesan ketika memberi saran Dyah. Yakni, ia harus siap dengan dampak terburuk sekalipun. Yang terpenting, kami membebaskan untuk saling berkembang.
Sikap yang kami pilih itu bukan tanpa dasar. Suatu hari, Dyah pernah curhat. Ia galau untuk memutuskan sesuatu. Namun, jawaban yang saya beri tak membuatnya lega. Jawaban yang saya beri dianggap mendikte. Dyah tersinggung. Kami bertengkar hebat.
“Bagitu mas,” tutup Dyah setelah memberi penjelasan tadi. Kali ini lebih menyejukan.
Dyah menyelesaikan tugasnya untuk menjawab. Kini tiba waktunya dia untuk melakukan balas dendam. Ia memintaku memberi penjelasan atas topik yang saya ajukan itu.
“Kita sama-sama,” jawabku terpotong. Kini, giliran saya yang cengengesan. Senyum-senyum di depan kamera. Ekspresiku itu berhasil membuat Dyah kesal. Saya puas membuatnya demikian.
“Loh ya, sampean juga pasti masih mikir to?” berontak Dyah.
“Kita sama-sama suka penyetan ngisor ringin (bawah pohon ringin),” jawabku. Warung penyetan yang saya maksud itu terletak di dekat kosanku di derah Kusuma Negara, Yogyakarta. Dulu, saya dan Dyah sering membeli makan di sana waktu sore hari. Jawaban yang sebenarnya sudah saya siapkan untuk membuat ia kesal.
Spontan Dyah langsung melempar HP-nya di atas kasur. Dia tidak bisa menahan tawa sambil berteriak ‘curang-curang’.
Saya juga tidak kalah eksprsif. Saya tertawa penuh kemengangan. Seolah saya telah berhasil mengeksploitasi kecerdasan mantan aktivis Fopperham (Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia) itu.
Tapi saya tidak sejahat yang kalian bayangkan. Saya tetap lelaki dewasa yang penuh dengan tanggung jawab. Topik video call kali ini harus tetap saya tuntaskan. Saya harus memberi penejlasan yang tidak kalah mencengangkan. Agar, Dyah berhenti marah-marah sambal mengira saya lelaki yang hanya bisa pecicilan.
Sama seperti Dyah. Sebenarnya saya mau bertahan dengannya karena ia orang yang fleksibel. Diajak serius ayo, diajak pecicilan seneng-seneng saja. Misalnya, dalam kondisi serius seperti mengerjakan tugas kantor, Dyah mau saja saya ajak membuat video tiktok tidak jelas. Kami joget-joget melalui video call, lalu kami rekam. Berbahagialah manusia bernama Dyah itu memiiki pasangan seperti saya. Ehemm..
Vidio call menjadi salah satu cara komunikasi yang paling kami andalkan ketika melakukan Long Distance Relationship (LDR) antar benua ini. Pembahasan seperti itu selalu kami rindukan utuk terus memupuk hubungan ini agar terus melaju ke arah yang lebih dewasa. Makanya, Dyah suka berontak kalua saya tidak lagi punya topik menarik. Vidio call menjadi hambar. Kami hanya saling bertatap muka tanpa kata-kata Mutiara.
Saya yakin, banyak anak-anak WHV di Australia yang bernasib sama seperti saya. Mengandalkan vidio call unuk memupuk hubungan dengan pasangan karena menjalani LDR. Ya, apalagi? Di jaman modern ini, komunikasi model demikian menjadi salah satu harapan untuk kelanggengan sebuah hubungan. Jika tidak dimanfaatkan, ya maaf. Pasanganmu bisa-bisa beralih pada yang lain, sis. Tarikk…..
Komentar
Posting Komentar