Hanya Dua Tahun Hidup di Negara Asalnya, Afganistan





Menjadi pengungsi juga dirasakan Muhammad Hadi Qurbani. Bahkan, dia hanya dua tahun tinggal di negara asalnya, Afganistan setelah lahir. Sekitar 15 tahun Hadi bersama keluarga berada di tempat pengungsian di Pakistan. Namun di sana keamanannya juga tidak terjamin. Selebihnya, pria 22 tahun tersebut berada di Indonesia sampai sekarang.

"Hidup tapi mati," kata Hadi pelan. Beberapa waktu lalu, dia juga bersedia ditemui di Sorento cafe and resto di kawasan apartemen sederhana di kawasan Jemundo, Sidoarjo. Malam itu Hadi baru saja melaksanakan ibadah Shalat tarawih bersama para pengungsi yang lain.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Hadi selama bulan Ramadhan. Aktifitasnya di tempat pengungsian masih sama dengan bulan-bulan lain. Semuanya serba terbatas. Dia tidak bisa leluasa keluar jauh dari tempat pengungsian. "Bosan. Ibarat burung dikurung," ucapnya.

Bukan hanya itu. Uang makan sehari-hari Hadi juga hanya bisa mengandalkan pemberian dari PBB. Setiap bulanya, para pengungsi di sana diberi uang sebesar Rp 1,2 juta. "Agar hemat makanya kami masak bersama. Kami harus bisa menyisihkan uang untuk kebutuhan lain," jelasnya. Masak bersama juga salah satu cara para pengungsi untuk mengenang kampung halaman.

Semakin larut, hadi mulai bercerita kisahnya. Pada tahun 2014 lalu, Hadi berangkat dari Pakistan menggunakan pesawat dan tiba di Malaysia. Di sana dia bertemu dengan warga Pakistan lain yang sudah lebih dulu berada di sana. Maklum saja, keadaan di negaranya tidak stabil. Konflik yang terjadi tidak pernah padam."Musuhnya sama Taliban. Sewaktu waktu kami bisa kena tembak atau bom," terangnya.

Di Malaysia, sebenarnya juga banyak orang Pakistan yang bekerja di sana. Hanya saja keberadaanya ilegal. Jika tertangkap otoritas setempat, urusanya bisa lebih rumit. Hadi juga sempat ditawari kerja di sana. Hanya saja dia tidak tertarik mengingat resiko yang begitu besar.

Akhirnya Hadi memutuskan berlayar menuju Indonesia dari Malaysia. Tempat pertama yang dia singgahi adalah Medan. Dari Medan dia kemudian menuju Jakarta menggunakan mobil selama tiga hari. Di Jakarta, dia mengurus segala keperluan perijinan sebagai pengungsi di Indonesia. "Ijin imigrasi, minta bantuan PBB saya coba," sambungnya.

Setidaknya, kini sudah lima tahun Hadi tinggal di tempat pengungsian di Sidoarjo. Itu artinya, sudah lima kali momentum lebaran sudah dia lewatkan bersama keluarga. Makan roti dan piknik bersama keluarga tidak mungkin dia lakukan saat ini. "Kalau di sini makanan pokoknya beras di sana makan roti. Saya ingin sayur dimakan sama roti bersama keluarga," harapnya.

Sama halnya dengan para pengungsi yang lain, Hadi juga berharap ada negara ketiga yang mau memberinya suaka. Kabar dari PBB soal itu selalu dia tunggu setiap hari. Sehingga dia bisa hidup normal seperti orang pada umumnya. Bisa sekolah dan bekerja untuk hidup.

Momen lebaran seperti sekarang, Hadi juga ingin sekali bisa seperti umat muslim pada umumnya. Merayakan hari kemenangan bersama keluarga tercinta di rumah. Namun kondisinya belum memungkinkan. Dia belum bisa kembali dengan aman ke Pakistan untuk bertemu dengan keluarga.
Di lain sisi, komunikasi dengan keluarga juga sangat terbatas. Dalam sebulan, belum tentu dia bisa memberi kabar orang tuanya yang ada di Pakistan. Sebulan sekali bisa menghubungi keluarga sudah dia sukiri. Bahkan kadang dua bulan sekali. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paralayang Batu, Tempat Wisata yang Ngagenin

contoh proposal perpanjangan ijin operasional tpq