Terbawa Ombak, Semakin Lama Semakin Tenggelam
Muntiah terlihat resah di Gapura Surya Nusantara. Berkali-kali warga Randu Alas, Gilingan, Banjarsari, Solo tersebut melihat daftar nama di papan itu. Sebab suaminya, Nurdatin Suprianto, menjadi korban KM Santika Nusantara yang terbakar di perairan Masalembu (22/8) lalu.
Siti Muntiah datang dari Solo sejak pukul 1.00 dini hari kemarin dan tiba di Pelabuhan Tanjung Perak sekitar pukul 8.00. Perempuan 54 tahun tersebut langsung bertanya pada petugas yang berjaga di posko informasi penanganan korban kapal terbakar.
Di sana memang ada daftar nama yang ditempel oleh basarnas. Isinya, daftar nama-nama korban selamat yang berhasil dievakuasi beberapa hari belakangan. Berkali-kali Muntiah membaca itu sambil memengang foto kopi KTP milik sang suami. "Ya Allah dimana Suami saya. Kalau ketemu saja saya sudah langsung pulang," katanya.
Hingga pukul 11.00 Muntiah belum mendapat kepastian. Dia semakin cemas. Petugas yang ada di lokasi kemudian berusaha membantu mencocokan foto kopi KTP sang suami dan nama-nama yang telah ditempel tadi. Namun di saat itulah, ternyata sang suami juga ada di depan papan informasi. Nurdatin juga melihat daftar nama-nama yang selamat.
Tangis Muntiah langsung pecah. Perempuan dua anak itu langsung memeluk erat-erat sang suami. Rasa syukur langsung terucap. "Alhamdulillah ya Allah. Neng ndi wae pak tak telpon gak iso," kata Muntiah sambil menangis.
Sambil memeluk sang Istri, Nurdatin juga menenagkan Muntiah. Perlahan, pria 47 tahun tersebut membimbing sang istri. Mereka mencari tempat duduk untuk bercerita. "HP saya hilang buk. Barang-barang tidak ada yang terselamatkan. Hanya baju yang menempel," kata Nurdatin menjelaskan.
Nurdatin berangkat dari Solo sejak Senin (19/8) lalu. Dia sempat tidur di Pelabuhan Tanjung Perak sampai hari Kamis (22/8). Yaitu sampai kapal Santika Nusantara yang ditumpanginya berangkat menuju Balikpapan. Nurdatin saat itu berangkat bersama empat rekanya yang lain. Mereka adalah Suwarto, Suyadi, Darwin, dan Mustakim.
Lima orang tersebut adalah tetangga. Yaitu warga Randu Alas, Gilingan, Banjarsari, Solo, atau kampung halaman Presiden Jokowi waktu masih kecil dulu. Rencanaya, mereka berangkat ke Balikpapan untuk mengadu nasib. Mereka akan bekerja sebagai tukang Bangunan di sana.
Kapal Santika Nusantara yang mereka tumpangi berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak sekitar pukul 9.00. Saat itu, Nurdatin dan Muntiah juga sempat berkabar. Namun di siang hari, Nurdatin sudah tidak bisa dihubungi.
Sekitar pukul 20.00 (22/00), Nurdatin mengecarge HP miliknya di dek nomor tiga di kapal Santika Nusantara yang ditumpangi malam itu. Ketika itulah, tiba-tiba dia mendengar terikan penumpang kapal yang lain. "Kebakaran-kebakaran," kata Nurdatin menirukan teriakan para penumpang kapal malam itu. Sumbernya dari dek kapal bagian bawah. Atau dari tempat parkir mobil dan truk.
Mendengar teriakan itu, Nurdatin langsung panik. Sejumlah penumpang kapal semburat. Sesampainya Nurdatin di luar kapal, sudah banyak penumpang lain yang berkumpul. Mereka saling berdesak-desakan untuk menyelamatkan diri. "Ada yang bertahan di atas kapal yang terbakar, ada yang turun ke laut," tambah Nurdatin.
Setelah mengenakan pelampung, Nurdatin dan Suwarto memilih turun ke laut. Dia menuruni tangga tali yang telah disediakan ABK kapal malam itu. Nurdatin juga harus berdesak-desakan dengan penumpang lain yang hendak turun. "Saya melihat ibu-ibu tidak kuat megang talinya. Dia jatuh kejebur di laut. Entah gimana itu nasibnya," kenang Nurdatin.
Sesampainya di bawah Nurdatin bersama Suwarto langsung menaiki perahu karet. Setelah tertampung sebelas orang di sana, perahu karet di lepas dari KM Santika Nusantara. Mereka terombang-ambing ombak di tengah lautan malam itu. Nurdatin dan Suwarto hanya bisa berdo'a. Apalagi mereka juga terpisah dari tiga rekanya tadi.
Sekitar empat jam setelah lepas dari KM Santika Nusantara yang terbakar, ada satu kapal nelayan yang mendekati perahu karet yang ditumpangi Nurdatin bersma sepuluh orang lainya malam itu. Kapal tersebut juga sempat menyalakan lampu ke arah perahu karet Nurdatin. Namun kapal nelayan tersebut tidak berani mendekat. Apalagi menolong. "Entah kenapa itu kapal tidak berani menolong," ucap Nurdatin.
Semakin malam, perahu karet yang mereka tumpangi semakin jauh dari kapal yang terbakar. Kapal nelayan yang diharapkan untuk bisa menolong juga semakin menghilang. Perahu karet berisi sebelas orang itu terombang ambing mengikuti arus di lautan. Kepanikan Nurdatin dan Suwarto semakin bertambah. Sebab, semakin lama, perahu karet yang mereka tumpangi semakit tenggelam. Mereka hanya bisa berdo'a. "Yang kelihatan cuman leher kami saja. Pegangan juga sudah lemas," cerita Nurdatin tentang dua malam itu.
Sekitar pukul 8.00 (23/8) pagi, baru ada kapal barang yang melintas. Nurdatin, Suwarto dan sembilan orang lainya terus berteriak meminta pertolongan. Usaha mereka tidak sia-sia. Kapal itu mau mendekat. Awak kapal melemparkan tali untuk memberi pertolongan. Sebelas penumpang itu akhirnya selamat.
Kapal barang asal Timor Leste dengan tujuan Singapura itu bisa jadi tidak akan terlupakan oleh Nurdatin dan Juga Suwarno. Setelah menarik sebelas korban tadi, kapal tersebutlah yang mengantarkan mereka ketemu tim SAR untuk dievakuasi menggunakan KMP Dharma Ferry VII. Mereka pun selamat dan tiba di Surabaya.
Sampai kemarin, tim SAR Basarnas sudah mengevakuasi 311 korban, termasuk tiga korban meninggal dunia. Jumlah yang melebihi manifes perusahaan pelayaran (277). Meski begitu masih ada dua orang yang dilaporkan hilang.
#tulisan sudah dimuat di surat kabar harian Jawa Pos.
Komentar
Posting Komentar