Kisah Imigran Muslim Sudan Mencari Perlindungan di Indonesia
Ini merupakan lebaran ke enam Asim Saleh, 33 berada di Indonesia. Hanya saja, penantiannya untuk mendapat kewarganegaraan dari negara ke tiga belum membuahkan hasil. Perang saudara di negara asalnya, Sudan juga tak kunjung meredam.
EKO SULISTYONO
Asim Saleh masih belajar ketika ditemui di sebuah warung kopi kawasan apartemen pengungsian Jemundo, Sidoarjo (2/6) malam. Pria 33 tahun tersebut terlihat serius menghadap layar laptop sambil mengenakan earphone berwarna putih miliknya. "Assalamualaikum," sapa Asim ketika menyadari kedatangan tim Jawa Pos malam itu.
Apa yang dilakukan Asim merupakan kegiatan rutin untuk mengisi waktu luang, yaitu belajar. "Belajar apa saja. terutama Biologi sesuai jurusan saya sewaktu kuliah dulu" katanya dengan bahasa Indonesia.
Selama bulan puasa ini, selain mengaji, dia memang banyak menghabiskan waktu untuk belajar di depan layar laptop. Terutama setelah shalat tarawih berjama'ah dengan para pengungsi lain di sana. Dia belajar melalui internet. Belajar melalui internet merupakan cara satu-satunya yang bisa dilakukan lulusan salah satu universitas di Sudan tersebut. Bahkan, Asim juga pernah menjadi pengajar Biologi sebuah sekolah menengah atas di sana.
Namun kini keadaanya sudah berubah. Untuk mendapat pendidikan formal di negara pengungsian bagi imigran seperti Asim, merupakan sesuatu yang sulit. Kelengkapan dokumen dan uang untuk bayar kuliah adalah penyebabnya. "Tahun 2018 lalu saya sudah mencoba daftar S2 di Unair jurusan Biologi, namun tidak bisa," keluhnya.
Asim menarik nafas dalam-dalam. Dia kembali mengenang kisah pilunya hingga sampai menjadi pengungsi di Indonesia. Pada tahun 2013 lalu, perang saudara di kota kelahirannya, Darfur kembali memanas. "Nyawa saya terancam. Keluarga menyarankan saya untuk pergi meninggalkan Sudan," kenangnya.
Karena itulah Asim kemudian memutuskan untuk pergi dan mencari negara yang lebih aman. Dia berangkat dari kota kelahirannya menggunakan pesawat menuju Qatar, lalu ke sampai di Jakarta. Di Indonesia, dia juga bertemu dengan para pengungsi dari negara lain. "Setelah dari Jakarta, saya sempat satu tahun mengungsi di Pangkal Pinang. Lalu ke sini," ucapnya.
Bertemu dengan para pengungsi lain membuat Asim menerima lebih banyak informasi. Salah satunya soal ketersediaan negara ke tiga yang bisa memberikan kewarganegaraan. Seperti Australia dan Amerika Serikat. Hanya saja, untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Dia harus menunggu informasi mengenai negara mana yang sudah bisa dimintai kewarganegaraan melalui organisasi PBB. Dia hanya bisa menunggu.
Namun Asim tidak punya pilihan lain. Dia sangat ingin mendapat status kewarganegaraan yang bisa menjamin hak-haknya. Negara manapun sebenarnya bukanlah menjadi soal. Yang paling penting dia bisa hidup dengan tenang di sana. Apalagi untuk kembali ke negara asalnya juga sebuah keniscayaan. Perang saudara yang terjadi di sana tak kuncung meredam.
Sejak meninggalkan Sudan pada tahun 2013 lalu, ini berarti sudah tahun keenam Asim berada di Indonesia. Setiap saat dia selalu berharap kabar baik selalu datang dari PBB. "Namun sampai sekarang belum ada kabar dari PBB," katanya lirih.
Menjadi pengungsi di negara orang tentu bukanlah hal mudah bagi Asim. Selain cemas akan masa depannya mendapat kepastian mengenai negara ketiga, dia juga selalu cemas dengan keberadaan keluarganya di Sudan. "Bagaimana keluarga saya di sana, mereka bisa saja menjadi korban kerusuhan," terangnya.
Untuk merayakan kemenangan umat Muslim seperti sekarang, tentu Asim juga kangen dengan tradisi yang ada di kampung halamannya. Seperti makan dan piknik bersama keluarga. Apalagi Hebat Ahmed , 28 perempuan yang dinikahi Asim sebelum meninggalkan Sudan juga selalu setia menunggu kabar darinya. Mereka memang baru setahun menikah sebelum Asim meninggalkan Sudan.
Lagi-lagi cara satu-satunya untuk berkomunikasi dengan keluarga tercinta hanya melalui internet. Namun hal itu juga tidak mudah. "Ayah ibu di kampung, susah sinyal. Kalau istri harus pinjam hp tetangga atau kerabat dulu," ucapnya.
Untuk mengetahui kabar terbaru dari negaranya, Asim juga selalu update melalui internet, terutama sosial media seperti Facebook. Di sebuah group Facebook lokal di negaranya, selalu ada yang mengupdate informasi. Kebanyakan informasi soal memanasnya konflik dan korban yang berjatuhan akibat peperangan. "Everyday," tegas Asim.
Meski demikian, masih ada secuil harapan di tengah penantian panjang itu bagi Asim dan 17 pengungsi lain asal Sudan di Sidoarjo. Yaitu kabar mengenai negara ke tiga yang mau memberinya suaka. Atau meredamnya konflik di negara asalnya, sehingga Asim bisa pulang dengan aman dan kembali bersama keluarga.
Komentar
Posting Komentar