Stereotype LGBT
Oleh: Eko Sulistyono
Aksi Menolak ujar kebencian terhadap LGBT di Yogyakarta, 23/02 2016. |
Isu Lesbian Gay Biseksual dan Transgender
(LGBT) boleh saja mulai redup dari sorotan media akhir-akhir ini. Namun media
meninggalkan stereotype (cara pandang berdasarkan persepsi) kepada khalayak,
sesuai apa yang dilihatnya di media. Tak bisa dipungkiri, media memiliki peranan
besar terhadap wacana yang berkembang di masyarakat. Beberapa kelompok orang
maupun lembaga telah menyatakan sikapnya. Pro atau kontra terhadap LGBT. Sebelumnya,
tulisan ini muncul dari diskusi rutinan LPM Rhetor. Berawal dari ruang 6x3 m,
berantakan dan sesak akan orang-orang di dalamnya.
Penulis awali dengan peran media
dalam memberitakan LGBT. Banyak media lokal maupun nasional, dalam
pemberitaanya lebih suka menggunakan kata-kata penyakit, menyimpang hingga LGBT
merupakan sebuah ancaman. Beberapa media seolah sepakat untuk menyerang
kelompok ini. Parahnya, ada media yang membuat judul “LGBT Adalah Ancaman”
sebagai headline beberapa waktu lalu.
Sementara, Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) melarang adanya tayangan televisi yang mengarah ke perilaku
LGBT. Secara tersirat, penulis asumsikan bahwa KPI juga sepakat, LGBT adalah
ancaman baginya. Sebagai media, televisi memiliki kuasa lebih besar untuk memepengaruhi
khalayak daripada media cetak. Dalam teori “jarum suntik media massa”
menyebutkan, apa yang disajikan oleh media secara terus menerus akan
memepengaruhi khalayak. Barangkali KPI tidak menghendaki itu.
Maka tak heran jika muncul sekelompok
orang maupun lembaga yang kontra mengecam keberadaan LGBT. Beberapa tokoh, pejabat dan lemabaga juga
telah menyatakan sikap mengecam LGBT berlandaskan fatwanya. Pernyataan tokoh
yang di dukung media menambah riskan dampaknya terhadap pemahaman masyarakat. Membuahkan legalitas bahwa LGBT memanglah
sebuah ancaman yang harus di hancurkan.
Fatwa tokoh dijadikan landasan
beberapa milisi sipil reaksioner untuk menolak keberadaan LGBT. Akibatnya, penolakan
tersebut di ekspresikan dengan ujar kebencian hingga diskrimiasi. Misalnya,
beberapa minggu lalu ada aksi menentang LGBT dari sekelompok milisi sipil
reaksioner di tugu Yogyakarta. Dalam orasinya, LGBT disamakan dengan binatang.
Tak jauh berbeda ketika penulis
menunikan Shalat Jumat, Jum’at lalu. Seperti biasa, sebelum shalat dimulai, khatib
memberikan khatbahnya terlebih dahulu. penulis semakin tertarik ketika materi khotbah
membahas LGBT yang sedang ramai di perbincangkan. Namun,
penulis agak terkejut dengan isi yang disampaikan “LGBT sebagai penyakit
masyarakat”. Sang Khatib mendalil, menafsirkan ayat-ayat sesuai pemahamanya. Ia
menceritakan sejarah masa lampau, kisah umat Nabi Luth yang dilaknat karena
kesukaanya pada sesama jenis. Sang khotib makin lantang menentang keberadaan
LGBT.
Ketika penulis mengikuti salah satu
mata kuliah juga tak jauh berbeda. Di dalam kelas dosen pengampu nyinggung isu
LGBT. Penulis sangat terkejut ketika ia menyampaikan, “LGBT merupakan sebuah
kampanye yang di sponsori oleh PBB”. Orang-orang yang pro terhadap LGBT
dituding mendapatkan kucuran dana tersebut. Apakah asumsi tersebut juga memang
benar adaya?. Entahlah, selama belum ada pembuktian konkrit, anggapan tersebut
dapat terpatahkan.
Sementara, berbeda bagi sekelompok
orang ataupun lembaga yang pro terhadap LGBT. mereka menentang keras jika LGBT
dikatakan sebuah penyakit. Alasanya, orientasi seks itu beda dengan perilaku
seks. Kelompok ini meyakini bahwa orientasi seks alamiah sifatnya. Pertanyaanya,
LGBT ini fitrah atau ada faktor eksternal.
Penulis mengutip pernyataan Aliansi
jurnalis Independen (AJI) yang memiliki data lain. “Perserikatan bangsa-bangsa
(PBB) dan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) juga telah
menyatakan bahwa LGBT bukanlah sebuah penyakit. Pernyataan tersebut semakin
dikuatkan dengan Direktorat kesehatan Jiwa di Indonesia yang menerbitkan
pedoman penggolongan diagnosisi gangguan jiwa tiga, mencoret homoseksual dari
gangguan jiwa”. Barangkali, kelompok pro juga menggunakan data tersebut sebagai
acuan.
Kelompok ini makin getol mengkritisi
ormas milisi sipil yang kontra dan cenderung memarjinalkan LGBT. perlakuan
mereka justru dianggap sebagi diaspora ujar kebencian. kalaupun agama yang
dijadikan dasar hukum, agama mana yang memebenarkan untuk saling memebenci.
Penulis kira ini juga ada benarnya, toh
islam juga agama yang Rahmatan lil
a’lamiin.
Adapula yang menjadikan demokrasi
sebagai alasan untuk pro terhadap LGBT. kelompok ini kurang sepakat, di negara
demokrasi agama dijadikan landasan hukum. Demokrasi menjunjung tinggi kebebasan.
Kebebasan berpendapat, beragama termasuk bebas menentukan oroientasi seksnya. “Kalau
masih agama yang dijadikan landasan hukum, mending bikin negara sendiri, ini
negara demokrasi. Demokrasi berlandaskan pancasila dan undang-undang dasar
bukan agama”.
Penulis juga kurang sepakat dengan
kelompok ini. Memang benar ini negara demokrasi yang menjunjung kebebasan.
Namun sepemahaman penulis, kebebasan yang dimaksud juga tidak demikian. Jika
menghendaki kebebasan, termasuk menentukan orientasi seks, harus disertai
alasan yang lebih substansial. Demokrasi yang berlandaskan pancasila juga
menyebutkan “ketuhanan yang maha esa” di sila pertamanya.
Okelah, terlepas apakah LGBT itu benar
atau salah, khalal atau kharam itu bukan kapasitas saya. Biarlah cukup mereka
yang meyakini itu sebagai kebenaranya. Keyakinan ataupun ideologi. Penulis
tidak tahu mana yang benar dan salah, biarlah nanti di akhirat sebagai pembuktian.
Akan sangat susah jika memperdebatkan masalah ini dari sudut pandang agama,
karena bukan kapasitas penulis. Penulis hanya akan menyikapinya sesuai
kapasitas sebagai praktisi media kampus. Ingat, sesuai kapasitas.
Kebencian Adalah Ancaman
Jika sekelompok orang yang kontra
akan LGBT lebih suka menggunakan pendekatan kebencian bahkan kekerasan, bagi
penulis ini jelas-jelas salah. Masih teringat beberapa waktu lalu, kabar
mengenai pembubaran pondok pesantren Waria di Jogja. Hal tersebut dilakukan
oleh sekelompok ormas yang mengatasnamakan agama. Menuduh pesantren sebagai
perkumpulan terlarang. Hal tersebut jelas-jelas tindakan yang tidak
mencerminkan kebijaksanaan.
Apapun latar belakangnya manusia
juga membutuhkan siraman rohani termasuk waria. Iya jika yang dituduhkan benar,
jika yang dituduh benar-benar ingin mendekatkan diri kepada Tuhanya, siapa yang
salah?. Barangkali ia juga dalam proses perenungan. Penulis ingin menanyakan
sekali lagi, agama mana yang membenarkan adanya kekerasan dan diskriminasi?.
Masih meyakini bahwa LGBT adalah
penyakit?. Bukankah akan lebih bijak jika mencarikan obatnya daripada membunuh
penderitanya?.
Terkhusus bagi praktisi media,
perlunya ada koreksi prodak jurnalistik dalam pemberitaan. Penulis meresahkan
beberapa media yang belum seutuhnya memenuhi disiplin jurnalisme.
Mencampuradukan fakta dan opini. Stereotype
LGBT di media masih menganggap bahaya kelompok LGBT.
Jika media yang kita konsumsi masih
suka menggunakan kata-kata menyimpang, penyakit bahkan ancaman, bisa dipastikan
masyarakat kita semakin memandang rendah kelompok ini. Pemberitaan yang
disajikan akan menghasilkan stigma terhadap suatu kelompok tersebut.
Akhirnya, khalayak secara massal
akan mendiskriminasi suatu kelompok dari tatanan sosial. Seperti dalam buku
“Kuasa Stigma dan Represi Ingatan karya Tri Guntur Narwaya” mengamini bahwa “kebencian
yang telah didiktekan oleh media bahkan negara akan membangun kebencian yang mengakar”.
Kebencian akan terbalas kebencian dari mereka yang dibenci dan orang-orang yang
mendukung keberadaanya. Kebencian yang hanya akan menjadikan kita
terkotak-kotak.
Komentar
Posting Komentar